Gak bisa tidur >.< hehehe. Entah karena obat nyeri yang bikin aku tidur seharian atau karena kakiku cekot – cekot kalau malam, selama masa penyembuhan ini, aku ga bisa tidur kalau malam. Tidurnya subuh – subuh. Hehehe. Daripada ga tau mau ngapain, aku mau cerita – cerita tentang apa yang kupikirin selama dua hari ini.
Supaya lebih seru, aku mau mulai cerita lewat sebuah dongeng atau mitologi Yunani. Jadi gini, dahulu kala, di Yunani, ada seorang raja bernama Sisyphus. Raja Sisyphus ini pinter banget tapi licik, sampai – sampai ia mengacaukan kegiatan dewa – dewi di Olympus. Sebagai gantinya, ia dihukum. Hukumannya adalah membawa batu besar untuk naik ke sebuah lereng. Setelah Sisyphus hampir sampai ke puncak, batu besar yang dengan susah payah dibawanya itu akan menggelinding ke bawah lereng. Balik ke nol – titik start. Sisyphus harus membawa lagi batu itu ke puncak dan seterusnya. Hukuman ini berlangsung selama – lamanya #FOR ETERNITY.
Albert Camus, pada tahun 1942 dalam essai “The Myth of Sisyphus” bilang kalau hukuman Sisyphus ini tak ubahnya seperti kehidupan manusia. ABSURD. Bahasa Jawanya itu “ MEGELNO”. :p. Masalah datang terus. Kalau kita udah susah payah mecahin masalahnya, masalah yang lain datang lagi. Waktu kita pikir hidup kita sudah agak lebih baik akan ada masalah datang dan hidup kita akan jadi buruk lagi. Kayak si Sisyphus ini. Waktu batunya udah hampir sampai ke puncak, batunya bakal nggelinding lagi kebawah. MEGELNO POL, SIA – SIA dan TIDAK BERMAKNA karena pada dasarnya manusia itu menderita, dari penderitaan satu ke penderitaan yang lain. Pengkhotbah 2: 11 juga berkata
Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.
Jika kehidupan ga ada maknanya, BAGAIMANA dan MENGAPA kita harus hidup? Camus menawarkan tiga opsi dalam esainya, yaitu melakukan bunuh diri, meyakini Tuhan, atau menerima absurditas kehidupan dan menciptakan maknamu sendiri. Camus sendiri berkesimpulan bahwa jawaban mengapa si Sisyphus melakukannya adalah karena dia menerima absurditas kehidupan dan menciptakan maknanya sendiri.
“ Perjuangan itu sendiri… sudah cukup untuk mengisi hati manusia,” tulisnya “ Orang harus membayangkan Sisyphus itu bahagia”
Dengan kata lain, Sisyphus hidup dengan satu tujuan “ia berjuang supaya batunya sampai ke puncak”. Kalau jawaban ini diaplikasiin ke kehidupan, jawaban ini ga bisa memuaskan batinku. Aneh aja, apakah manusia harus sedemikian menderita? Ketika ada masalah A datang, tujuan hidupku adalah menyelesaikan masalah A. Ketika ada masalah B datang, tujuan hidupku adalah menyelesaikan masalah B. Inipun absurd menurutku. Memang benar, semangat untuk berjuang dan menyelesaikan masalah itu bisa mengisi hati dan membuat makna. Tapi makna seperti ini apakah layak untuk diletakkan sebagai pondasi hidup? Tidakkah itu membuat kita seperti aktor dalam videogame yang hidup untuk memecahkan kasus kemudian game over ketika kita sudah tidak mampu menyelesaikannya lagi. Ini juga terlalu absurd.
Kemudian mana yang benar? Opsi A, bunuh diri. Hiiii.. Mbayangin aja aku takut hahaha. Gak bisa mbayangin deh, kalau memang manusia hidup ini begitu tidak ada maknanya sehingga mati pun tak apa – apa. Aku akan begitu menyesal dilahirkan. Kalau memang seperti ini, mungkin aku bakal buka pabrik baygon, pabrik benda tajam, pabrik senjata, bikin gedung tinggi, dan bikin perusahaan jasa “ MATI TANPA SAKIT” hahaha. Pasti laris manis. Anyway, aku juga percaya bahwa Tuhan ada dan Tuhan ga bodoh untuk menciptakan sesuatu tanpa arti. Jadi, hush hush.. hapus opsi A.
Opsi yang terakhir adalah percaya bahwa Tuhan ada. Mungkin dalam konteks Sisyphus, ini berarti waktu dia membawa batu itu ke atas, dia terus berdoa bahwa suatu saat dewa Zeus akan menghentikan hukuman ini. Kalau dia membawa dengan begitu baik dan sabarnya, Dewa Zeus akan kasihan dan upahnya bertambah di gunung Olympus. Hanya Zeuslah harapannya dan ia menjalani hukuman itu dengan baik untuk mempengaruhi hati Zeus. Lalu bagaimana dengan kehidupan manusia? :p Ribet njelasinnya. Intinya gini, kalau opsi ini diterapin ke kehidupan sehari – hari, kita akan percaya Tuhan itu ada dan karena Tuhan itu lebih besar, agung, dan lebih kuat daripada kita, ia jadi sumber pengharapan kita. Bayangin aja kayak orang yang kehausan dan kesakitan karena berjalan di padang gurun, karena ia membayangkan bahwa di padang gurun ini suatu saat akan ada oasis. Maka ia pun terus berjalan dan berjalan walaupun kakinya sakit sekali dan ia sudah hampir mati. Ini artinya, kita meletakkan makna hidup di luar manusia sehingga manusia bisa bertahan dalam penderitaan.
Aku, setelah mikir dan mikir, aku juga tidak 100% yakin dengan opsi “percaya Tuhan ada”. Aku juga ga ngerti ini bener atau ga. Well, mungkin mikirnya kurang panjang ya hahahaha. Well, kalau memang sepanjang hidup ini aku akan mengalami gagal, putus asa, dan penderitaan, aku sepertinya harus menggabungkan opsi “percaya Tuhan ada” dan “ menerima absurditas kehidupan dan memaknainya”. Alkitab sudah bilang bahwa hidup ini sia – sia belaka. Firman Tuhan itu ya dan amin. Ya wes lha, aku harus terima kalau emang hidup ini absurd. Dalam hidup ini aku akan menderita gagal, putus asa, dan kesulitan. Harus ikhlas dalam hal ini. Fransiskus Asisi berdoa supaya ia dikuatkan untuk mengubah hal – hal yang bisa ia ubah dan menerima hal – hal yang tidak bisa ubah. Ini juga doaku. Penderitaan dalam hidup adalah kenyataan yang tidak bisa diubah bagi manusia. Terimalah.
Aku tidak tahu di dalam hidupku ini nantinya,akankah aku akan terus mengalami penderitaan, atau akan tiba saatnya aku bakal tiba dalam titik kejayaan. Jadi profesor terkenal yang menginspirasi banyak orang. Happy Ending. Batu sisyphus telah diangkat! Haleluya!. Aku tidak tahu yang mana yang akan terjadi. Aku sih pengen happy ending. Tapi gimana kalau tidak? Rasul Petrus terus mengalami penderitaan dan di akhir hidupnya ia ga happy ending, tapi malah disalib terbalik. Rasul Yohanes di akhir hidupnya ia menderita di pulau Patmos. Banyak rasul yang seumur hidup mengalami penderitaan, sampai mati pun menderita juga.
Aku percaya Tuhan ada dan tidak pernah melanggar janjiNya. Ia janji kepadaku kalau aku akan punya “masa depan yang penuh harapan”. Di masa depan, mungkin aku juga akan mengalami gagal dan mengalami putus asa, tapi harapan itu akan selalu ada. Harapan bahwa Tuhan selalu mencintaiku dan cintaNya berlaku. Kemudian aku mulai mempertanyakan cinta ini. Kalau Tuhan cinta aku, kenapa kok aku disuruh hidup menderita? Kenapa waktu aku kecelakaan Tuhan gak mengirimkan malaikat yang mampu memindahkanku ke belahan dunia yang lain #NGAYAL POL >.
Setelah mikir lagi, aku nemu jawabannya. Iya benar Ia tetap mengasihi aku dan kasihNya berlaku. Aku anakNya yang setengah mati disayang. Tapi, aslinya aku ini penduduk surga dan bukan penduduk bumi. Di bumi ini aku dibentuk dan mungkin pembentukannya harus sakit seperti ini. #SAKIT BANGET, MAK!!. Aku mesti melalui penderitaan. Ya, Tuhan udah bilang di Alkitab kalau pembentukannya itu kayak membentuk emas. Dimurnikan tujuh kali. Eh, bukannya kalau emas dimurnikan, emasnya mesti dibakar ya? Hmm, anggep aja aku nih lagi dibentuk kayak emas secara harafiah. Dibakar dikit, gapapa lha ya, berarti aku semakin murnI hahaha JK :P. Anyway, aku baru ngerasain kalau pembentukan bisa sesakit ini >.<.
Kalau misalnya aku harus mengalami penderitaan seumur hidup dan ga ada “ HAPPY ENDING”. Piye? Dimana masa depan penuh harapan itu? Aku lihat sendiri, seorang jemaat gerejaku seorang ibu rumah tangga yang cinta banget sama Tuhan. Baik banget dan dewasa banget secara rohani. Tapi sejak kecil ia hidup miskin, punya anak banyak, dan suaminya meninggal dunia. Alhasil ia harus membesarkan anak – anaknya dengan penuh susah payah. Anak – anaknya telah besar dan ketika mereka membangun bisnis, bisnisnya akhir – akhir ini lagi susah dan ia terus menderita. Mungkin…. Masa depan yang penuh harapan itu gak bicara tentang kesuksesan. Mungkin gak bicara tentang kekayaan dan hormat. Mungkin masa depan itu bicara tentang diri dan kehidupan yang dewasa dan kuat secara spiritual.
Aku sih mbayanginnya kayak gini. Manusia itu jahat dan karena itu perlu pendidikan untuk membudayakannya. Pendidikan yang diberikan Tuhan itu bisa aja bentuknya masalah dan penderitaan. Saat anak – anakNya menghadapi masalah, Ia berharap anak – anakNya akan memilih untuk menyangkal diri dan memikul salib. Artinya, anak – anakNya akan membuat keputusan sesuai dengan kehendakNya bukan kehendaknya sendiri. Dengan demikian anak – anakNya akan lebih seperti Dia. That is divine meaning, isn`t it?
Semakin banyak masalahnya, aku bakal jadi lebih terlatih bikin keputusan sesuai kehendakNya, lama – lama jadi pinter dan aku dipersiapkan untuk mati. Mati, menghadap Tuhan dan berkata. “ Ya, Bapa, anakMu ini sudah setengah mati dan dengan tunduk menjalani pendidikanMU. Terima kasih Bapa sudah mempersiapkanku untuk masuk kerajaanMu.~
Mungkin ini sebabnya dalam kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, ketika mereka akan dimasukkan ke dalam perapian mereka berkata ( Daniel 3: 17 -18),
Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."
Ketika dihadapkan pada penderitaan pada akhir hidup, mereka tetap teguh, ga nyalahin Tuhan, ga ndikte Tuhan. Betapa aku akan mati kecewa kalau aku ga menyadari makna ilahi dalam setiap masalahku. Tuhan ga pernah janji kalau di akhir hidupku aku tidak akan menderita lagi. Jadi kalau aku berharap bahwa di akhir hidupku aku akan mencapai semua impianku dan berakhir bahagia, mungkin iya, mungkin tidak. Aku berharap jika tidak, aku tidak akan menyalahkan Tuhan dan tetap setia padaNya. Dia mengasihiku dan kasihNya berlaku.
Well, upah kesetiaan itu mungkin tidak akan diberikan saat aku hidup. Karena hidup bukan akhirnya. Upah itu ada dan akan diberikan. Dalam penderitaanku, sekarang dan yang akan datang, aku berdoa supaya aku tetap teguh dan setia dalam pengharapanku akan Dia. Biarlah aku bisa menerima absurditas kehidupan dan memaknai penderitaanku dengan makna – makna ilahi. Buat kamu juga, yang mungkin sedang mengalami kesusahan. Aku mengerti keadaanmu dan aku berdoa untukmu juga. Stay strong because We have a strong God.
Dalam buku “ With Love and Prayers: A Headmaster Speaks to the Next Generation”, Rev. Wahington Jarvis, seorang kepala sekolah yang luar biasa sering mengatakan pada muridnya
Anak – anakku, sekarang dan dalam tahun – tahun berikutnya kalian akan menderita, gagal, dan mengenal putus asa. Doaku bagi kalian adalah ketika kalian mengalami penderitaan semacam itu, kalian akan menggali lebih dalam dan dari tubuhmu yang menderita kau akan membangun otot spiritual yang akan mengatasi banyak rintangan kehidupan, dan bahwa dalam penderitaanmu sendiri, kau akan semakin memahami danberempati terhadap penderitaan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar